16 Juni, 2022
Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist MAMI
The Fed semakin agresif
Pada pertemuan tanggal 15 Juni 2022 bank sentral AS menaikkan suku bunga Fed funds rate sebesar 75 bps menjadi 1,75%. Kenaikan tertinggi sejak tahun 1994 ini sudah sesuai dengan konsensus pasar yang menduga hal tersebut sejak rilis data inflasi terakhir menunjukkan inflasi yang tinggi. Pada bulan Mei inflasi AS mencapai angka 8,6% YoY, 1.0% MoM, lebih tinggi dari perkiraan pasar (8,3% YoY dan 0,7% MoM), dipicu terutama oleh peningkatan harga makanan, perumahan dan transportasi.
Ketua The Fed juga mengindikasikan bahwa bank sentral AS kemungkinan akan menaikkan suku bunga sebesar 50-75 bps di bulan Juli dan akan terus menaikkan suku bunga acuan secara agresif selama sisa tahun ini untuk memerangi inflasi. The Fed memperkirakan suku bunga akan menjadi 3,4% pada akhir tahun 2022 dan 3,8% pada akhir tahun 2023. Selain itu, ketua The Fed menyatakan akan melakukan pengetatan kuantitatif sebesar USD 47,5 miliar per bulan pada periode Juni-Agustus 2022 untuk kemudian meningkat menjadi USD 95 miliar per bulan mulai September 2022.
Keputusan The Fed untuk memerangi inflasi tersebut disambut positif oleh pasar AS, Dow Jones Industrial Average naik 1%, mengakhiri penurunan dalam lima hari berturut-turut, S&P 500 naik 1,46% dan Nasdaq Composite meningkat 2.5%. Imbal hasil US Treasury turun dari 3,47% menjadi 3,32% pada waktu Investment Note ini ditulis. Pasar saham Indonesia juga meningkat, sementara pasar obligasi didukung dengan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun yang menurun setelah pengumuman keputusan The Fed.
Karena inflasi yang masih terjaga, kami perkirakan Bank Indonesia tidak akan menaikkan suku bunga acuan pada rapat dewan gubernur BI tanggal 23 Juni 2022. Sejauh ini BI memilih untuk mengendalikan likuiditas dengan menaikkan giro wajib minimum. Kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga mulai kuartal ketiga tahun ini sebesar 2-3 kali, menjadikan suku bunga acuan pada tingkat 4,00-4,25% pada tahun ini.
Selain mengumumkan kebijakan moneternya, The Fed juga merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi AS menjadi 1,7% untuk 2022 dan 2023, jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yaitu 2,8% untuk tahun 2022 dan 2,2% untuk tahun 2023. Di sisi lain, inflasi direvisi naik menjadi 5,2% untuk tahun 2022 (jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya pada angka 4,3%), kemudian turun menjadi 2,6% pada tahun 2023. Ini memperkuat indikasi stagflasi akan terjadi di Amerika Serikat.
Risiko stagflasi bukan saja dihadapi AS, namun juga kawasan-kawasan lain secara global. Tingginya inflasi karena disrupsi rantai pasokan dari China dan Rusia serta turunnya permintaan global yang antara lain dipicu oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi China membuat stagflasi menjadi risiko yang semakin mengemuka.
Di tengah kondisi tersebut, Indonesia berada pada posisi yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Inflasi di Indonesia, walaupun meningkat, namun masih akan terkendali, terutama didukung kebijakan penetapan harga BBM sampai akhir tahun ini. Produksi di Indonesia relatif tidak terlalu terganggu karena lebih rendahnya penggunaan input dari Rusia dan China..
Dari segi pertumbuhan, PDB Indonesia diperkirakan masih bertumbuh kuat, sekitar 5,0-5,4% pada tahun ini, didukung oleh kuatnya ekspor dan membaiknya konsumsi karena permbukaan kembali perekonomian. Hal ini meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia.
IDB: Inflasi domestik kembali melandai
Baca selengkapnyaIWH: Pasar merespon positif nominasi menteri keuangan AS
Investment Weekly Highlights
IDB: Pemerintah menetapkan kenaikan UMP 2025 di 6.5%
Baca selengkapnya