Skip to main content
Back

Seeking Alpha Agustus 2024: Potensi pasar saham di era peralihan menuju iklim suku bunga rendah  

9 Agustus, 2024

Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Chief Investment Officer - Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, CFA.

Siklus pelonggaran moneter global mulai terjadi, terutama dimotori oleh negara-negara maju di Eropa. Bagaimana Anda melihat situasi ‘turn around’ yang terjadi saat ini?

Seperti telah kami kemukakan sejak awal tahun, secara global sebenarnya inflasi turun gradual sejak puncak tertingginya dua tahun lalu. Walaupun The Fed masih belum melakukan pemangkasan suku bunga, sejak kuartal pertama 2024 ini sudah banyak negara yang melakukan pelonggaran moneter. Beberapa di antaranya adalah Swiss, Zona Euro, Britania Raya, Denmark, Swedia, Kanada, Brazil, Kolombia, Chili, Hungaria, Ceko, Romania. Penurunan dilakukan merespons berbagai kondisi seperti inflasi yang terkendali, menjaga keseimbangan nilai tukar, atau pun untuk mendongkrak konsumsi domestik yang melemah. Namun tren penurunan inflasi global dan pelonggaran moneter ini kadang tidak diperhatikan investor yang lebih fokus mencermati arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), yang memang sampai beberapa bulan terakhir masih berkutat dengan inflasi yang tetap bandel.

Berbicara mengenai AS, beberapa data ekonomi bulan Juli terlihat semakin melemah, membuat pasar bereaksi negatif, memicu sell-off pasar saham dunia yang cukup signifikan. Apa yang terjadi? 

Data inflasi yang terus turun dan sektor ketenagakerjaan yang melemah merepresentasikan ekonomi mulai lesu. Tingkat inflasi inti (disetahunkan) sudah di bawah 2%, pengangguran melesat ke 4.3%. Jumlah pekerja baru sektor non-pertanian juga terus turun. Aktivitas manufaktur dan jasa semakin lesu. Semua ini membuka narasi baru, apakah AS akan memasuki resesi di 2025? Inilah penyebab anjloknya pasar saham dunia di awal Agustus ini. Di lain pihak situasi terakhir ini mempercepat potensi penurunan Fed Funds Rate (FFR) Saat ini pasar menilai probabilitas penurunan FFR bulan September mencapai 90%, yang juga tercermin dari turunnya imbal hasil US Treasury dan melemahnya Dolar AS.

Dengan melemahnya USD terhadap mata uang lain, bagaimana dampaknya terhadap pasar di kawasan Asia? 

Secara historis, pasar kawasan Asia akan diuntungkan. Di 24 tahun terakhir, pasar saham Asia 12 kali lebih unggul dibandingkan pasar saham global, dan dari 12 kali tersebut 9 kali terjadi di iklim pelemahan USD. Berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi, ekonomi Asia relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Aktivitas manufaktur Asia seperti India, Vietnam dan Taiwan masih berada di level ekspansif, ditopang oleh permintaan semikonduktor AI yang kuat. Sebagai contoh, produsen semikonduktor memori Korea Selatan SK Hynix mengindikasikan pasokan memori AI untuk 2024 telah habis terjual dan untuk 2025 pun tersisa sedikit.

Beralih ke pasar Indonesia, ketika dihadapi dengan kebijakan higher for longer The Fed, Rupiah mengalami tekanan yang cukup berat. Dengan berubahnya ekspektasi pasar terhadap FFR, bagaimana dampaknya terhadap Rupiah dan kebijakan Bank Indonesia (BI) ke depan? 

Menyikapi kondisi AS dan arah FFR terakhir, tekanan terhadap Rupiah mereda. Di bulan Juli nilai tukar Rupiah menguat 0.7% terhadap Dolar AS dan rata-rata imbal hasil lelang SRBI juga menurun. Stabilitas Rupiah yang berkesinambungan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar domestik. Hal ini terbukti di bulan Juli, investor asing mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih. Walaupun demikian, selain arah FFR masih ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai tukar Rupiah ke depannya, seperti outlook postur RAPBN-2025, stabilitas inflasi domestik, kebijakan pemerintah baru, pemilu AS dan situasi geopolitik dunia. 

Stabilisasi nilai tukar memang menjadi fokus BI saat ini, dan redanya tekanan pada Rupiah tentu menjadi pertimbangan BI dalam menentukan kebijakan moneter ke depan. Namun besaran pemangkasan diperkirakan lebih konservatif dibandingkan dengan pemangkasan FFR, menjaga selisih antara BI Rate & FFR tetap atraktif menarik minat investor asing. Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI rate dapat turun 100bps, sementara FFR dapat turun 150 bps.

Terkait konsumsi domestik yang lemah, di kuartal kedua 2024 ini PDB Indonesia tumbuh 5.05% YoY, lebih rendah dibandingkan kuartal pertama yang tumbuh 5.10% YoY. Menurut Anda, bagaimana prospek ke depannya?

Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang lebih rendah dibandingkan kuartal pertama sebenarnya sesuatu yang wajar, karena di kuartal pertama ada komponen belanja pemerintah yang sangat meningkat signifikan, yaitu belanja/pengeluaran pemerintah terkait pemilu. Hal ini memang lebih bersifat ‘one-off’

Namun untuk paruh kedua ini, kami melihat prospek pertumbuhan masih cukup baik, karena ada penopang-penopang baru. Pemerintah menaikkan anggaran belanja negara 2024 menjadi IDR3412 Triliun, naik IDR87 Triliun dibandingkan anggaran awal. Yang menarik adalah peningkatan belanja ini terutama dialokasikan untuk belanja modal, material dan subsidi. Akselerasi realisasi belanja negara diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dan menopang likuiditas. Apalagi kita lihat fakta bahwa selama paruh pertama 2024, realisasi belanja baru mencapai 41% dari target, sehingga di paruh kedua ini belanja pemerintah akan lebih tinggi dan diharapkan dampaknya pada roda ekonomi pun lebih besar.

Mempertimbangkan kondisi ekonomi makro global dan juga domestik, bagaimana pandangan Anda terhadap pasar saham Indonesia ke depannya? 

Minat terhadap pasar saham domestik sejauh ini terpukul oleh era suku bunga tinggi yang membuat risk-free asset menjadi sangat menarik. Rata-rata volume perdagangan saham yang sempat naik di awal tahun, sejak bulan Mei terus menurun. Namun saat ini kondisi mulai berbalik arah. Kami melihat beberapa potensi katalis bagi pasar saham Indonesia ke depan:

  • Potensi pemangkasan suku bunga.
    Optimisme akan pemangkasan suku bunga The Fed di bulan September dapat memberikan angin segar bagi pasar saham Indonesia, dengan potensi risk-reward ratio yang menjadi lebih menarik lagi.
  • Melandainya imbal hasil obligasi domestik.
    Potensi hasil yang ditawarkan pasar saham menjadi lebih atraktif dengan melandainya imbal hasil obligasi Indonesia, dan dapat mendorong mendorong investor untuk kembali melakukan diversifikasi ke pasar saham.

  • Kebijakan pro pertumbuhan pemerintahan yang baru.
    Harapan akan kebijakan pemerintahan baru yang pro pertumbuhan dapat menumbuhkan minat investor terhadap pasar saham Indonesia. Sekarang, kita melihat investor asing sudah lebih dulu berinvestasi di Indonesia dan membuat posisi arus dana asing kembali positif. Kepemilikan asing pun terus bertumbuh dari tahun 2021, dan mencapai 40% di bulan Juli.

Menyikapi keadaan sekarang, bagaimana strategi MAMI mengelola portofolio saham saat ini? 

Mencermati situasi global, domestik, dan menyisir potensi katalis-katalis di pasar saham yang telah kita bahas, saat ini ada beberapa sektor pilihan yang menarik dari sisi potensi hasil dan risiko yang diembannya, di antaranya adalah:
 

  • Financials
    Sektor ini berpotensi diuntungkan oleh arus dana masuk asing (di mana saham-saham big cap biasanya menjadi pilihan pertama) dan di lain pihak likuiditas perbankan juga mulai terlihat stabil.

  • Communications
    Baik perusahaan penyedia jasa (operator) maupun menara (tower) sama-sama akan diuntungkan oleh iklim penurunan suku bunga. Dari sisi earnings dan valuasi pun saat ini cukup menarik.

  • Consumer Staples
    Secara selektif, ada perusahaan-perusahaan yang kami rasa tetap potensial dengan valuasi yang menarik.


Yang ingin kami tekankan. baik dalam kondisi kenaikan ataupun penurunan suku bunga tetap ada sektor-sektor dan saham-saham potensial. Kondisinya tidak bisa generalized atau diseragamkan begitu saja. Pendekatan top down secara makro dan sektor, serta pemilihan saham secara top down senantiasa kami lakukan dalam membentuk portofolio saham kami. 

 

 

Unduh Dokumen

 

 


 

 

Tentang PT Manulife Aset Manajemen Indonesia

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp102 triliun (Maret 2024) dengan pangsa pasar 12,3% (Desember 2023) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2023) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.

Lihat semua
Informasi libur

Menyambut Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus, kantor kami tidak beroperasi pada 29-30 Mei 2025 dan akan kembali beroperasi pada 2 Juni 2025. Selengkapnya

View more

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more
Informasi libur

Menyambut Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus, kantor kami tidak beroperasi pada 29-30 Mei 2025 dan akan kembali beroperasi pada 2 Juni 2025. Selengkapnya

View more

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more