8 Agustus 2024
Hanya untuk investor profesional PT Manulife Aset Manajemen Indonesia.
Bukan untuk umum.
ULASAN MAKROEKONOMI
Indikator makro Indonesia tetap stabil di bulan Juli 2024. Perekonomian tumbuh 5.05% YoY di 2Q24, sedikit lebih rendah dibandingkan 5.11% di 1Q24. Perlambatan pertumbuhan tahunan terjadi di sektor pertambangan (-0.3ppts), manufaktur (-0.1ppts) dan jasa (-0.3ppts), namun berhasil diimbangi kuatnya produksi agrikultur (+0.8ppts), disebabkan pergeseran musim panen yang tahun lalu terjadi di kuartal pertama, sekarang bergeser ke kuartal kedua 2024 akibat fenomena El Nino. Konsumsi tumbuh sebesar 5.1% YoY dibandingkan 5.3% di 1Q, seiring konsumsi rumah tangga yang tumbuh stabil di angka 4.9% YoY. Investasi naik ke 4.4% YoY dari 3.8% YoY di 1Q, utamanya didorong dari mesin dan peralatan yang naik ke 6.1% dari 2.9% di 1Q walaupun aktivitas manufaktur tercatat lebih rendah. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi pemerintah jatuh ke 1.4% dari 19.9% di 1Q, karena belanja terkait pemilu yang sudah turun tajam. Sementara itu kontribusi ekspor bersih naik ke 0.2ppts dari 0.0ppts, konsisten dengan surplus perdagangan barang yang lebih besar didorong ekspor komoditas.
Inflasi umum tahunan turun empat bulan berturut-turut ke 2.1% YoY di Juli, dari 2.5% di bulan sebelumnya. Penyebab utamanya adalah penurunan harga bahan pangan. Sepanjang 7 bulan pertama, inflasi tercatat sebesar 0.9% dibandingkan 1.5% pada periode yang sama tahun lalu. Inflasi inti naik ke 2% dari 1.9% di Juni seiring naiknya harga emas. Di bulan-bulan mendatang (Agustus dan September) inflasi mungkin naik terkena dampak kenaikan biaya pendidikan tahunan. Lebih jauh lagi, kebijakan pemerintah mungkin mendorong inflasi lebih tinggi. Beberapa contoh seperti harga BBM subsidi yang lebih tinggi, ekstensifikasi cukai pada lebih banyak barang (misalnya makanan kemasan mengandung natrium, telepon genggam, makanan cepat saji, MSG, batu bara, tiket konser, deterjen, dan lain lain). Menteri Perdagangan juga mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif impor barang tertentu.
Beberapa rilis data ekonomi Amerika Serikat menunjukkan pelemahan (seperti aktivitas manufaktur dan jasa yang lebih rendah, pengangguran lebih tinggi, non-farm payroll lebih rendah). Kondisi tersebut memicu kekhawatiran potensi resesi Amerika Serikat, dan Ketua The Fed mengindikasikan pemangkasan suku bunga acuan di September.
PASAR SAHAM
IHSG naik 2.7%, mengungguli pasar global (MSCI World +1.7%), Asia Pasifik eks Jepang (MSCI APxJ -0.22%) dan pasar kawasan berkembang (MSCI EM -0.14%). Rupiah mulai terapresiasi (+0.7%) , namun tetap kalah unggul dibandingkan mata uang kawaan di ASEAN. Investor asing mencatatkan arus masuk positif sebesar USD411.3 Juta setelah berbulan-bulan sebelumnya mencatatkan arus keluar. Semua sektor mencatatkan kenaikan, dipimpin oleh sektor industri (+12.1%). Sektor kesehatan mencatat kenaikan terkecil, setelah kenaikan 4.7% dan posisi teratas di bulan sebelumnya.
Dalam jangka pendek volatilitas diekspektasikan tetap bertahan karena ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kekhawatiran akan potensi resesi Amerika Serikat . Namun fundamental kuat Indonesia (rasio utang sehat, pertumbuhan PDB stabil dan inflasi yang terkendali), Fed Funds Rate yang sudah berada di puncak, serta pemulihan ekonomi China yang lebih rendah dari ekspektasi dapat mendukung selera investor asing ke Indonesia dalam jangka menengah panjang. Saham Indonesia berada di valuasi yang menarik, lebih rendah dari rata-rata sepuluh tahun. Kami terus memandang positif perekonomian Indonesia dan optimis akan daya tarik investasi jangka panjang Indonesia.
PASAR OBLIGASI
Pasar obligasi Indonesia berhasil bangkit dengan indeks BINDO tetap berada di daerah positif, perkembangan terlihat di bacaan terbaru yang mencatat performa bulanan naik +1.09% MoM, sehingga kinerja tahun berjalan menjadi sebesar 2.57%. Imbal hasil obligasi 10Y turun dari 7.05% ke 6.89% (-15bps), sejalan dengan imbal hasil UST 10 tahun yang turun signifikan dari 4.40% ke 4.03% (-37bps). Pasar tetap bergantung pada sentimen global dan domestik, dengan fokus utama pada perekonomian dan kebijakan moneter AS. Beberapa data menunjukkan perekonomian AS terus melambat, dengan PCE Deflator Mei AS yang melunak, Inflasi Juni lebih rendah dari ekspektasi, dan indeks ISM Manufaktur Juni yang lebih rendah dari ekspektasi, yang mendukung harapan pemangkasan suku bunga ditengah ketidakpastian geopolitik. Dengan meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed September mendatang, imbal hasil UST 10 tahun bergerak turun mendekati level terendah bulan Juli di 4.03%.
Selain sentimen global yang membaik, kondisi domestik bulan Juli pun mendukung pasar obligasi. Walaupun defisit anggaran 2024 direncanakan naik dari 2.29% ke 2.70% dari GDP, pemerintah mengumumkan akan mengurangi penerbitan obligasi sebesar IDR215 Triliun dengan tambahan penggunaan saldo anggaran lebih (SAL) sebesar IDR100 Triliun. Pengumuman tersebut direspon pasar secara variatif, namun secara umum, sampai akhir tahun nanti pasokan obligasi diekspektasikan tetap terjaga. Selama bulan Juli, Bank Indonesia mempertahankan BI 7-day reverse repo rate stabil di 6.25% dengan imbal hasil Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dalam tren penurunan. Di pasar primer, penawaran lelang SUN dan SBSN semakin membaik dengan permintaan lelang naik ke atas rata-rata 2024. Pemerintah memutuskan untuk memenangkan lelang sesuai dengan target awal sebesar IDR22 Triliun untuk SUN dan IDR10 Triliun untuk SBSN.
Investor asing mencatat pembelian bersih sebesar IDR4.97 Triliun di bulan Juli, sehingga kepemilikan asing mengalami kenaikan ke 14.00% dari total obligasi pemerintah diperdagangkan dibandingkan 13.93% di bulan sebelumnya. Asuransi dan dana pensiun tetap mencatatkan pembelian bersih, dengan kenaikan kepemilikan dari 19.02% ke 19.08%. Bank Indonesia tetap menjadi pembeli sebanyak IDR1.87 Triliun, kepemilikan mereka stabil di 24.29%. Sementara itu bank komersial mencatatkan penjualan bersih sebesar IDR18.77 Triliun, sehingga kepemilikan mereka turun dari 20.85% ke 20.51%. Kepemilikan reksadana naik dari 3.09% ke 3.11%, sementara individu dan investor lain tetap menjadi pembeli terbesar bulan ini dengan kepemilikan naik ke 19.01% dari 18.82%.
Di bulan Juli kurva imbal hasil obligasi menunjukkan pola bullish dan variatif, semakin curam di tenor pendek ke menengah dan melandai di sisi tenor panjang. Imbal hasil tenor pendek mencatatkan kinerja terbaik, dengan imbal hasil tenor 5 tahun turun 23bps dan tenor 2 tahun turun 18bps. Imbal hasil obligasi tenor menengah juga turun, dengan tenor 10 tahun turun 10bps dan tenor 15 tahun turun 2bps. Di sisi tenor jangka Panjang, imbal hasil obligasi tenor 20 tahun dan tenor 30 tahun turun sedikit, masing-masing turun 3bps dan 5bps.
IDB: Presiden Trump serang The Fed
Investment Daily Bread
IWH: Pasar global variatif di tengah negosiasi tarif
Investment Weekly Highlights
IDB: Negosiasi tarif AS - Jepang berjalan positif
Investment Daily Bread