Skip to main content
Back

Seeking Alpha Maret 2025: Mencermati tarif, suku bunga, dan dinamika domestik

7 Maret 2025

Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Dimas Ardhinugraha.


Setelah sempat ditunda, Amerika Serikat (AS) akhirnya mulai mengumumkan informasi lebih jelas terkait tarif, negara, jenis barang, besaran tarif, dan tanggal efektifnya. Bagaimana pandangan Anda? 


Sejak bulan Januari, keresahan pasar terus meningkat di tengah banyaknya informasi terkait tarif yang tidak lengkap dan berubah-ubah. Dan jika kita mengacu pada economic policy uncertainty index, terlihat bahwa pasar mengkhawatirkan ketidakpastian kebijakan perdagangan dan ketidakpastian kebijakan moneter.  Indeks ketidakpastian kebijakan perdagangan di bulan Februari melesat level tertinggi kedua sejak kenaikan di era perang tarif 2018. Kami berharap setelah ada kejelasan dan informasi rinci terkait tarif, maka pasar dapat mengkaji ulang risiko dan peluang yang ada, sehingga volatilitas pasar bisa mereda.

Di setiap pembahasan mengenai tarif AS, ada tiga negara yang selalu mendominasi: China, Kanada, dan Meksiko. Seberapa besar risiko tarif AS terhadap China?

Dampak pengenaan tarif AS ke China tahun ini diperkirakan lebih terbatas dibandingkan perang tarif tahun 2018 lalu, karena China secara gradual sudah melakukan diversifikasi perdagangan ke negara dan kawasan lain, tidak terfokus pada AS. Contohnya, AS yang pada tahun 2016 berkontribusi terhadap 20% dari total ekspor China, di tahun 2023 lalu sudah turun menjadi hanya 13%. Sementara itu ekspor China ke negara lain meningkat signifikan, seperti ekspor ke kawasan negara berkembang yang kontribusinya naik dari 31% menjadi 41%. Selain diversifikasi, pemerintah China juga terlihat menunjukkan sikap yang lebih suportif terhadap sektor swasta domestiknya, berlawanan dari sikap sebelumnya yang menekan sektor swasta seperti di sektor teknologi, edukasi, dan hiburan. Dukungan bagi sektor swasta domestik ini diharapkan dapat menggairahkan aktivitas ekonomi domestik, memitigasi dampak eksternal dari tarif AS. 

Nama Indonesia relatif tidak muncul dalam riuh rendah wacana dan diskusi mengenai pengenaan tarif oleh AS. Apakah Indonesia akan imun terhadap kebijakan ini?

Jika kita telaah berdasarkan perkembangan dan informasi yang telah diumumkan AS, saat ini yang langsung berdampak ke Indonesia adalah pengenaan 25% tarif untuk baja, dan potensi tarif resiprokal. Berdasarkan data, ekspor baja ke AS tahun 2023 hanya senilai USD199 Juta, setara dengan 0.07% dari total ekspor seluruh komoditas Indonesia yang nilainya mencapai USD264 Miliar. Jadi, dampaknya cukup minim.  Risiko atas tarif resiprokal juga diperkirakan terbatas, karena tingkat tarif rata-rata antara Indonesia dan AS yang ada saat ini sudah setara di kisaran 4%, walaupun memang kita masih harus menunggu apakah tarif resiprokal yang akan diimplementasikan mengacu pada level rata-rata tarif antar kedua negara, atau per kategori barang. 

Saat ini kami menyimpulkan, risiko tarif tetap ada walaupun minim, dan yang harus kita lebih sikapi adalah risiko tidak langsung yang timbul dari potensi penurunan perdagangan global dan permintaan ekspor dari Indonesia, serta kenaikan harga barang-barang impor secara umum. 

The Fed menurunkan suku bunga di Desember dan Bank Indonesia (BI) ikut menurunkan BI Rate di Januari. Bagaimanakah sikap terkini The Fed dan BI terhadap potensi pemangkasan suku bunga lanjutan?

Komentar terakhir The Fed mengindikasikan arah kebijakan moneter saat ini yang tidak tergesa-gesa menurunkan suku bunga. Selain faktor ketidakpastian kebijakan tarif, pertimbangan lainnya adalah inflasi yang - walaupun sudah turun jauh - masih tetap belum mencapai target 2%, serta sektor tenaga kerja yang masih kuat. Sejauh ini ekspektasi pasar atas pemangkasan FFR tahun ini masih cukup selaras dengan proyeksi The Fed sendiri, yaitu 50bps. Di lain pihak, secara tidak langsung The Fed juga mengindikasikan potensi pemangkasan lebih agresif dapat terjadi apabila indikator ekonomi menunjukkan pelemahan.

Sementara itu akhir-akhir ini BI konsisten mengkomunikasikan pendekatan kebijakan berimbang antara stabilitas dan pertumbuhan.  Saat ini BI mengupayakan stabilitas nilai tukar dengan mempertahankan BI Rate di 5.75% di tengah tekanan pelemahan Rupiah, dan di saat yang sama juga tetap terbuka pada potensi penurunan BI Rate ke depan, menunggu saat yang tepat. Selain itu upaya menopang pertumbuhan juga tercermin dari pelonggaran Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) berbentuk pengurangan GWM sampai 5% untuk sektor prioritas (perumahan, konstruksi, pertanian, perdagangan, UMKM, pariwisata, dan transportasi). Proyeksi MAMI untuk BI Rate sampai akhir tahun adalah di kisaran 5.25% - 5.50%. 

Di tengah risiko perang tarif, penurunan perdagangan global, volatilitas pasar finansial dan mata uang, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi fokus dan kekhawatiran investor domestik. Bagaimana Anda mencermati perkembangan ekonomi Indonesia terkini? 

Pada dasarnya kami melihat kebijakan utama pemerintah adalah untuk mencari keseimbangan antara menopang pertumbuhan jangka pendek dan jangka panjang. Konsumsi domestik dalam kondisi yang lemah, tercermin dari kontribusi konsumsi terhadap PDB Indonesia sebelum pandemi berada di kisaran 55% - 58%, dan saat ini di kisaran 54%. Pemulihan ekonomi pasca pandemi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab pelemahan konsumsi dan mengancam pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Pemerintah terlihat menyadari hal ini, dan berupaya memberikan solusi cepat untuk menopang ekonomi jangka pendek, tercermin dari berbagai kebijakan populis yang dirilis seperti program MBG, kenaikan UMR, kenaikan upah ASN, pembatalan kenaikan PPN dan stimulus fiskal. Secara teori, kebijakan pro-konsumsi ini dapat cepat mengangkat pertumbuhan ekonomi, karena Indonesia memiliki rata-rata proporsi pendapatan untuk konsumsi yang tinggi di 74%. 

Sejalan dengan misi menopang ekonomi jangka pendek melalui konsumsi, di saat yang sama pemerintah juga tidak melupakan visi untuk mendorong ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan melalui investasi, karena pertumbuhan investasi merupakan faktor penting dalam penciptaan lapangan kerja. Sebelum pandemi, rata-rata pertumbuhan komponen investasi pada PDB Indonesia adalah kisaran 5%, dan ini perlu ditingkatkan. Bappenas memperkirakan rata-rata pertumbuhan investasi 8% dibutuhkan untuk dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%. Pembentukan Danantara merupakan bentuk solusi pemerintah yang dipandang dapat mengoptimalkan pengelolaan aset dan investasi negara, walau saat ini masih terdapat ketidakpastian di pasar terkait transparansi pengelolaannya.

Perang tarif ‘jilid dua’, ketidakpastian kebijakan moneter, dan kekhawatiran pertumbuhan ekonomi domestik membuat pasar finansial Indonesia bulan Februari ini sangat fluktuatif. Pasar saham turun tajam, sementara pasar obligasi masih terlihat resilien. Adakah katalis-katalis penopang ke depannya, dan risiko apa yang mungkin akan kita hadapi? 

Pasar saham Indonesia tertekan terutama dipengaruhi oleh pandangan investor asing untuk mengurangi eksposur investasi di kawasan negara berkembang di tengah iklim penguatan USD, ketidakpastian kondisi geopolitik, serta rilis earnings korporasi domestik yang tidak sesuai ekspektasi.  Stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditasi menjadi kunci pemulihan sentimen pasar saham. Secara historis pasar saham cenderung mencatat kinerja positif pada kondisi nilai tukar Rupiah stabil atau menguat, serta kondisi likuiditas melonggar. Kami berharap ini dapat terjadi setelah ‘the dust settles’ ketika pengenaan tarif AS sudah lebih jelas, apalagi jika kemudian juga dibantu oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi dalam negeri.  

Kondisi sedikit berbeda terjadi di pasar obligasi, di tengah dinamika pasar yang masih tinggi, minat investor asing terhadap pasar obligasi Indonesia menunjukkan perbaikan. Hal ini ditopang oleh sinyal dan komunikasi BI bahwa ruang pemangkasan suku bunga tetap terbuka. Selain itu permintaan untuk SBN diperkirakan dapat membaik seiring dengan tingkat imbal hasil dan penerbitan SRBI yang menurun. Sebelumnya SRBI menyedot likuiditas dari SBN karena tingkat imbal hasil SRBI yang lebih tinggi. Namun dengan saat ini imbal hasil SRBI menurun di bawah imbal hasil SBN, maka berpotensi untuk meningkatkan daya tarik SBN kembali.

Namun tidak bisa dipungkiri, risiko tetap ada dipengaruhi dinamika pasar global yang tinggi serta persepsi pasar terhadap kebijakan domestik menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sentimen pasar. Untuk menyikapi kondisi ini, menurut kami investor harus memiliki portofolio investasi yang terdiversifikasi guna meminimalisir tingkat risiko, namun dapat tetap stay invested di pasar untuk menangkap potensi pembalikan arah di pasar. 

 

 

 

 

Unduh Dokumen

 

 

 


 

 

Tentang PT Manulife Aset Manajemen Indonesia

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp98,9 triliun (Desember 2024) dengan pangsa pasar 11,84% (Desember 2024) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2024) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.

Lihat semua

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more

Pastikan untuk membeli Reksa Dana Manulife melalui MAMI atau mitra distribusi kami. 

View more

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more

Pastikan untuk membeli Reksa Dana Manulife melalui MAMI atau mitra distribusi kami. 

View more