10 September 2025
Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Chief Investment Officer - Equity, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, CFA.
Kuartal ketiga 2025 sudah hampir berakhir. Bagaimana Anda memandang kondisi perekonomian baik dunia maupun domestik, dengan memperhitungkan segala dinamika yang ada seperti implementasi tarif perdagangan dan juga volatilitas domestik yang terjadi akhir Agustus lalu?
Momentum pertumbuhan ekonomi global sampai 2026 masih tersendat. IMF dalam proyeksinya bulan Juli lalu memproyeksikan perekonomian global akan tumbuh di kisaran 3.0% - 3.1%, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata periode pra pandemi di 3.7%. Meningkatnya tingkat tarif dan risiko fragmentasi peta geopolitik menjadi faktor yang membayangi outlook ekonomi. Dalam jangka pendek, pasar menantikan perkembangan negosiasi tarif AS – China dengan tenggat waktu di November, serta potensi tarif sektoral tambahan dari AS.
Dari dalam negeri, data indikator pertumbuhan ekonomi terkini belum menunjukkan sinyal pemulihan. Indeks keyakinan konsumen menunjukkan turunnya optimisme konsumen di semua segmen masyarakat ke level terendah sejak periode pandemi 2020-2021, demikian juga indikator lainnya seperti penjualan mobil, penjualan ritel, dan pertumbuhan kredit yang menggambarkan arus likuiditas ke perekonomian. Walaupun pertumbuhan ekonomi 2Q-2025 lebih kuat dari ekspektasi di 5.12%, median konsensus memandang outlook pertumbuhan ekonomi 2H-2025 tetap lemah di 4.8%. Belum lagi, instabilitas yang terjadi akhir-akhir ini juga dapat semakin mengganggu aktivitas ekonomi. Namun sisi baiknya, pemerintah dan BI terlihat sangat menyadari potensi pelemahan yang terjadi, dan terlihat terus berupaya mengangkat kondisi ekonomi ke depan, walaupun efektivitasnya yang harus terus kita pantau.
Menghadapi lemahnya momentum pertumbuhan ekonomi di dunia dan Indonesia, bagaimana bank sentral bereaksi?
Kita mulai dari The Fed, karena langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) sedikit banyak akan memengaruhi pengambilan kebijakan bank sentral negara lain. Kami melihat, saat ini The Fed cukup menghadapi kondisi yang sulit untuk mempertimbangkan keputusan Fed Funds Rate (FFR). Ada tekanan kenaikan inflasi imbas dari tarif, namun di lain pihak sektor tenaga kerja melemah, yang seharusnya “diobati” dengan penurunan suku bunga. Namun diperkirakan dalam waktu dekat ini, pengambilan kebijakan akan lebih berfokus untuk merespons pelemahan sektor tenaga kerja. Median konsensus Bloomberg memperkirakan FFR dapat turun ke level 3.25% hingga akhir 2026, dan penurunan terdekat mungkin terjadi di bulan September ini juga.
Bagaimana dengan Indonesia? Selama 8 bulan pertama 2025, BI cukup agresif melakukan pemangkasan suku bunga acuan sampai empat kali. Namun melihat kondisi ekonomi yang masih terus butuh topangan, BI mengindikasikan tetap memantau ruang penurunan suku bunga lebih lanjut, terutama setelah mempertimbangkan fakta bahwa saat ini suku bunga riil yang tinggi ±2.8%, menunjukkan kebijakan moneter masih restriktif. Hal ini berdampak pada suku bunga kredit yang belum bisa turun lebih banyak dan mengalir pada perekonomian, tercermin dari lambatnya pertumbuhan kredit yang tahun ini diperkirakan hanya tumbuh ±8.75%, lebih rendah dibandingkan rata-rata 10-tahun pra pandemi di 15%. Seperti FFR yang masih mengarah turun sampai tahun depan, BI pun sama. Ekspektasi konsensus terminal rate BI Rate sampai akhir 2026 bervariasi di kisaran 4.0% - 4.50%.
Tren penurunan suku bunga dunia biasanya akan berdampak pada nilai tukar mata uang dunia, preferensi investasi dan arus dana dunia. Untuk pasar saham, seperti apa perkiraan Anda?
Secara historis, siklus penurunan FFR akan diikuti dengan iklim pelemahan USD dan penurunan imbal hasil UST, dan berpotensi menjadi katalis bagi pasar kawasan Asia. Secara historis periode pelemahan USD bersinggungan dengan meningkatnya aliran dana ke negara berkembang dan kinerja pasar saham Asia yang unggul. Di kawasan Asia sendiri, tingkat suku bunga juga berada dalam tren penurunan, di mana konsensus pasar masih memperkirakan penurunan suku bunga terjadi di Korea Selatan, Indonesia, India, Thailand, dan Filipina untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Menguatnya arus dana asing, pelemahan USD, ditambah pelonggaran moneter di Asia dan negara berkembang sendiri tentu merupakan gabungan kondisi yang kondusif untuk pasar saham.
Secara spesifik, bagaimana untuk Indonesia?
Di tengah kondisi dan tren yang telah saya jelaskan sebelumnya, kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang sangat pro pertumbuhan tentu diharapkan dapat menjadi katalis bagi ekonomi ke depannya. Namun kita harus sadari juga, secara historis terdapat jeda antara penurunan suku bunga dan trickle down effect-nya terhadap ekonomi, tidak instan. Program prioritas pemerintah yang bersifat populis seperti misalnya MBG, 3 juta rumah, dan lain-lain sebenarnya juga berpotensi menjadi katalis bagi roda perekonomian, asal tepat sasaran, efisien, dan implementasinya berjalan baik.
Terlepas dari potensi-potensi yang kita harapkan tersebut, ada hal yang melegakan yang harus kita jaga momentumnya:
Apa yang Anda dapat harapkan dari pasar saham domestik, setidaknya sampai akhir tahun ini?
Sampai saat ini momentum pertumbuhan ekonomi domestik yang tertekan menjadi faktor yang membayangi kinerja emiten dan pasar saham. Namun potensi transmisi kebijakan pro-pertumbuhan dari bank sentral dan pemerintah diharapkan semakin berdampak ke sektor riil, menjadi katalis bagi ekonomi dan kinerja emiten. Secara historis, siklus turunnya suku bunga merupakan periode yang suportif bagi pasar saham Indonesia, sehingga sinyal perbaikan ekonomi domestik menjadi faktor krusial untuk memulihkan keyakinan investor terhadap pasar saham.
Singkat kata, 5 hal yang membuat pasar saham tetap potensial untuk investor jangka panjang: momentum perbaikan arus dana global ke pasar negara berkembang, tren pelemahan USD, potensi pemangkasan BI Rate, kebijakan dan stimulus pro pertumbuhan, dan valuasi pasar saham yang atraktif.
Dengan mempertimbangkan segala potensi dan risiko baik jangka pendek dan menengah, apa strategi Anda mengelola Reksa Dana Saham MAMI saat ini?
Dalam mengelola portofolio reksa dana saham, kami tetap akan berfokus pada saham-saham dengan kinerja fundamental yang solid, bahkan di tengah situasi makro ekonomi yang masih menghadapi banyak tantangan. Kinerja bursa saham domestik yang masih cukup positif dalam situasi saat ini mencerminkan optimisme investor akan katalis jangka pendek dari prospek penurunan suku bunga global dan pergeseran fokus investor ke periode yang lebih jangka panjang, seiring cerita pertumbuhan struktural Indonesia yang dianggap masih tetap solid.
Walaupun IHSG telah berada di level yang relatif cukup tinggi, kami masih melihat emiten-emiten berkualitas di sektor finansial dan konsumer yang masih diperdagangkan di valuasi yang cukup menarik. Momentum pertumbuhan domestik dan situasi likuiditas perbankan yang diprediksi berangsur membaik akan mendukung kinerja laba emiten yang lebih baik ke depannya. Kami juga terus memantau sektor-sektor yang memiliki potensi perbaikan yang dipicu faktor spesifik industri seperti sektor telekomunikasi dan material.
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp101,7 triliun (Juni 2025) dengan pangsa pasar 12% (Maret 2025) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2024) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.
IDB: Tekanan jual asing membayangi pasar saham
Investment Daily Bread
IDB: Sri Mulyani lengser dari kursi Menteri Keuangan
Investment Daily Bread
IWH: Pelemahan sektor tenaga kerja AS memperkuat ekspektasi turunnya suku bunga
Investment Weekly Highlights