Skip to main content
Back

Seeking Alpha Juli 2025: Dinamika global dan implikasinya bagi pasar Indonesia

9 Juli 2025

Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Dimas Ardhinugraha.

AS memperpanjang tenggat negosiasi tarif dari 9 Juli ke 1 Agustus, dan menerapkan tarif baru untuk 14 negara termasuk Indonesia. Bagaimana Anda melihat kondisi ketidakpastian yang memanjang ini? 

Sejauh ini reaksi pasar terhadap pengumuman tarif baru AS relatif netral, tercermin dari level indeks saham, imbal hasil obligasi, dan nilai tukar Rupiah yang stabil pasca pengumuman. Masih ada harapan hingga tenggat 1 Agustus untuk pemerintah negosiasi lebih lanjut dengan AS. Ekspektasinya adalah setidaknya tarif dapat turun ke level yang kompetitif dengan negara tetangga, seperti Vietnam yang telah mencapai kesepakatan dengan AS untuk tarif 20%, supaya produk ekspor Indonesia tetap bisa bersaing. Dengan tarif di 32%, posisi Indonesia menjadi kalah unggul dengan Vietnam, walau di sisi lain posisi Indonesia lebih baik dibanding dengan negara eksportir lain seperti Bangladesh (tarif 35%) dan Kamboja (tarif 36%), di mana kedua negara tersebut juga salah satu eksportir garmen terbesar dunia.

Berbicara mengenai tarif, ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa jika tidak mempertimbangkan dampak dan ketidakpastian terkait tarif perdagangan, sebenarnya Fed Funds Rate (FFR) seharusnya sudah bisa diturunkan. Bagaimana pandangan Anda?

Benar. Sampai saat ini The Fed mempertahankan sikap wait and see mempertahankan tingkat FFR, dengan argumen bahwa dampak tarif terhadap inflasi masih sulit untuk diproyeksi. Para pelaku usaha memperkirakan akan terjadi kenaikan drastis harga-harga dan beban biaya akibat tarif yang terlalu tinggi,  sehingga tentunya akan berdampak pada inflasi. Di lain pihak, di kuartal kedua kemarin aktivitas konsumsi AS mulai menunjukkan sinyal pelemahan. Keyakinan masyarakat terhadap kondisi usaha, ketenagakerjaan, dan ekspektasi pendapatan di masa depan mulai menurun dan urgensi masyarakat untuk menabung semakin meningkat.  Contohnya saja di bulan April personal income naik +0.8%, sementara personal spending hanya naik +0.2%.  Jika kondisi ini terus berlangsung, dampaknya bisa saja mengarah pada stagflasi.

Kami perkirakan kebijakan AS yang sering inkonklusif, sering berubah-ubah dan diputuskan secara mendadak ini membuat The Fed kesulitan dan berhati-hati mengambil keputusan, setidaknya sampai urusan tarif sudah final. Nah, kapan finalnya, itu yang masih terus kita cermati. 

Beralih ke dalam negeri, kuartal kedua telah berlalu. Bagaimana ekspektasi Anda terhadap data pertumbuhan PDB kuartal kedua?

Beberapa indikator terkini memberi sinyal bahwa perekonomian Indonesia masih cukup lesu:
 

  • Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di bulan Mei turun ke level terendah 117.5 sejak tahun 2022, dan penurunan terjadi merata di semua segmen masyarakat, bukan hanya di segmen tertentu.
  • Penjualan mobil tahun berjalan sampai bulan Mei tercatat hanya 317 ribu unit - turun 5% YoY – yang bahkan lebih rendah dibandingkan 5 bulan pertama 2021 pada saat puncak era pandemi di angka 321 ribu unit).
  • Dari sisi produsen,  indeks PMI manufaktur tiga bulan terakhir berada di zona kontraksi, bulan April di level 46.7,  Mei  meningkat sedikit ke 47.4, dan di bulan Juni kembali turun ke 46.9.
  • Pertumbuhan kredit bulan Mei tercatat 8.1% YoY, dan Bank Indonesia (BI) merevisi target pertumbuhan kredit tahun ini dari sebelumnya di kisaran 11%-13% menjadi 8%-11% saja.
     

Rangkaian data 3 bulan terakhir yang cukup konsisten mengafirmasi momentum pertumbuhan ekonomi yang lemah. Namun data ini seharusnya sudah diperhitungkan atau priced in oleh pasar,  sehingga  jika data pertumbuhan PDB kuartal kedua nanti masih cenderung stagnan, diharapkan dampaknya pada sentimen pasar akan terbatas.

Masih di topik yang sama, sebenarnya apa penyebab konsumsi saat ini cenderung lemah?

Salah satu faktor utama yang disinyalir menjadi penyebab lemahnya konsumsi adalah peningkatan angka pemutusan hubungan kerja atau PHK (data Kemenaker menyebutkan per April sebesar 24 ribu, lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 18 ribu).  Dan sangat mungkin ada hubungannya dengan PHK, saat ini juga sedang terjadi tren peningkatan jumlah pekerja informal yang pendapatannya tidak tetap dan tidak memiliki jaminan atau perlindungan sosial (saat ini jumlahnya 59.4% dari total angkatan kerja, lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata sebelum pandemi di kisaran 57%). Individu-individu yang baru mengalami PHK dan atau bekerja secara informal tentu cenderung untuk mengurangi belanja.

Namun menurut kami, yang lebih penting untuk ditangani pemerintah adalah akar permasalahannya, mengapa banyak peningkatan PHK. Kami memperkirakan salah satu faktor utamanya adalah penurunan daya saing dan kompetisi ketat dengan produk-produk impor yang murah dan secara kualitas mampu menciptakan value for money menarik. Kondisi ini membuat industri manufaktur Indonesia banyak mengalami tantangan, terutama akan sangat terasa dampaknya di sektor-sektor padat karya. 

Berandai-andai, jika ternyata data pertumbuhan PDB kuartal kedua nanti masih stagnan, apakah Bank Indonesia (BI) masih bisa menurunkan suku bunga acuan BI rate untuk mendorong aktivitas ekonomi?

Di bulan Juni kemarin BI mempertahankan BI Rate di 5.5%, namun memberi sinyal dovish mencermati ruang dan waktu yang tepat untuk mengambil kebijakan pelonggaran moneter. Pemangkasan lanjutan akan mempertimbangkan dinamika kondisi global, terutama dampaknya terhadap stabilitas Rupiah. Dan BI memang memahami walaupun  sepanjang tahun berjalan sudah menurunkan suku bunga acuan 50 bps, ternyata  likuiditas pasar masih relatif ketat dipengaruhi oleh ekonomi domestik yang lemah dan tingginya minat terhadap SBN. Konsensus pasar memperkirakan di paruh kedua 2025 ini BI akan kembali menurunkan BI Rate di kisaran 50 bps, dan pandangan kami pun cukup sejalan, kami perkirakan sampai akhir tahun nanti BI Rate akan berada di kisaran 5.00-5.25%.

Bagaimana dari sisi fiskal,  adakah ruang bagi pemerintah untuk menahan potensi pelemahan ekonomi ke depan?

Di tengah potensi melemahnya pertumbuhan ekonomi global dan domestik, belanja negara diharapkan menjadi bantalan penopang. Di bulan Juni realisasi belanja negara menunjukkan akselerasi, di mana belanja pemerintah pusat tumbuh 0.6% YoY di 6M-25 dibandingkan posisi per Mei yang -15.8% YoY. Akselerasi belanja di semester kedua ini diperkirakan dapat terus terjadi, didukung oleh sudah selesainya realokasi APBN, adanya stimulus jilid-2 senilai IDR24.4 triliun, dan juga pembayaran gaji ke-13 ASN IDR49.4 triliun di periode Juni-Juli.

Tensi geopolitik sempat meningkat pesat terkait perang 12 hari Israel Iran. Saat ini memang sudah reda, namun di lain pihak membuka mata investor bahwa risiko geopolitik akhir-akhir ini cenderung meningkat dan bahkan sampai ke level yang tidak terbayangkan sebelumnya. Jika misalnya tensi geopolitik meningkat kembali, apa dampak dan risiko yang harus dicermati Indonesia?

Sulit bagi kami untuk mengkaji kondisi geopolitik yang dinamis. Namun jika tensi kembali meningkat – terutama di Timur Tengah – risiko yang paling sering terjadi adalah potensi gangguan pasokan minyak dunia dan peningkatan harganya. Indonesia sebagai importir bersih minyak tentu saja akan terkena dampaknya. Asumsi harga minyak pada APBN 2025 adalah USD82 per barel, dan sepanjang tahun berjalan ini, rata-rata harga minyak mentah Indonesia di kisaran ±USD72 per barel, masih cukup aman untuk mempertahankan harga subsidi saat ini. Tentu saja risiko akan meningkat jika terjadi tensi geopolitik berkepanjangan dan lonjakan harga minyak tidak lagi fluktuatif tapi menjadi permanen. Jika hal ini terjadi,  peningkatan volume dan nominal impor minyak dapat membuat surplus perdagangan menyempit dan asumsi-asumsi APBN dapat tidak relevan lagi.

Pertanyaan terakhir, di tengah segala situasi yang terjadi saat ini,  secara umum bagaimana outlook pasar obligasi dan saham untuk paruh kedua 2025 ke depan?

Di tengah ketidakpastian global memasuki paruh kedua,  pasar obligasi domestik masih potensial, ditopang oleh potensi penurunan BI Rate lebih lanjut, potensi stabilitas Rupiah seiring berlalunya periode pembayaran dividen di 2Q, dan ekspektasi iklim USD yang lemah dapat mendorong minat investor global ke pasar negara berkembang untuk mencari yield menarik. Selain itu permintaan dari investor domestik diperkirakan menguat seiring dengan turunnya imbal hasil SRBI yang membuat SBN lebih menarik, dan banyaknya SRBI yang akan jatuh tempo di kuartal ketiga (IDR273 triliun,  lebih tinggi dibandingkan IDR191 triliun di kuartal kedua) sehingga terdapat potensi reinvestasi peralihan ke SBN. Suplai obligasi diperkirakan tetap terjaga, walau defisit APBN 2025 melebar, didukung oleh penggunaan SAL oleh pemerintah yang berpotensi mengurangi kebutuhan penerbitan obligasi.

Sementara itu, sentimen di pasar saham diperkirakan masih akan dinamis. Setelah pesimisme mendominasi kuartal pertama, terjadi perbaikan sentimen di kuartal kedua didukung oleh stabilitas Rupiah dan meredanya tekanan jual investor asing. Memang terlepas dari perubahan cepat sentimen pasar, sebenarnya valuasi pasar saham saat ini masih rendah, jadi sangat menarik sebagai entry point untuk investor. Di sisi lain, valuasi rendah juga mencerminkan pandangan pasar yang belum terlalu ‘yakin’ pada outlook jangka pendek pasar saham. Ke depan, berkurangnya ketidakpastian global dapat mengukuhkan outlook dan keyakinan investor terhadap pasar saham Indonesia, namun yang menjadi faktor terpenting adalah sinyal pemulihan pertumbuhan ekonomi domestik.

Di tengah dinamika pasar, salah satu solusi yang dapat kita lakukan sebagai investor adalah diversifikasi di kedua kelas aset, mengambil benefit dari masing-masing karakteristik kelas aset tersebut.
 

  • Obligasi:  sebagai penahan volatilitas portofolio sambil menantikan perkembangan negosiasi tarif kondisi geopolitik, dan di saat yang sama tetap menangkap potensi dari ekspektasi pemangkasan suku bunga lebih lanjut.
  • Saham: momen harga saham yang rendah dapat dimanfaatkan untuk menangkap peluang investasi jangka panjang, dengan alokasi yang disesuaikan dengan profil risiko, tujuan dan horizon investasi investor.

 

 

 

 

Unduh Dokumen

 

 

 


 

 

Tentang PT Manulife Aset Manajemen Indonesia


PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp97,4 triliun (Maret 2025) dengan pangsa pasar 12% (Maret 2025) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2024) selama 29 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.

Lihat semua

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more

Pastikan untuk membeli Reksa Dana Manulife melalui MAMI atau mitra distribusi kami. 

View more

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more

Pastikan untuk membeli Reksa Dana Manulife melalui MAMI atau mitra distribusi kami. 

View more