14 Agustus 2024
Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income
Samuel Kesuma, CFA, Chief Investment Officer, Equity
Dr. Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist
Pasar global bersiap memasuki era baru dengan semakin banyak negara mulai masuk dalam siklus pemangkasan suku bunga. Perubahan ekspektasi suku bunga global telah mengurangi tekanan terhadap Rupiah, dan diharapkan stabilitas rupiah yang berkesinambungan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia.
Berikut pandangan tim investasi MAMI:
Pasar global dan Asia - Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income
Siklus pelonggaran moneter global telah dimulai. Sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga mereka sejak kuartal pertama yang dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti merespon inflasi yang terkendali (seperti terjadi di Swiss, Kanada, zona Euro, dan Inggris Raya), menjaga keseimbangan nilai tukar (Denmark), atau karena melemahnya permintaan domestik (Swedia). Adapun normalisasi inflasi dijadikan pertimbangan pemangkasan suku bunga bagi negara-negara berkembang di Amerika Latin (Brasil, Kolombia, dan Cili) dan Eropa Tengah-Timur (Hungaria, Ceko, dan Rumania).
Dari Amerika Serikat (“AS”), salah satu pusat ekonomi dunia, The Fed dalam rapat FOMC di bulan Juli telah mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga di bulan September semakin terbuka. Secara eksplisit, The Fed juga mulai memperhatikan risiko pelemahan sektor tenaga kerja, dan menyatakan ke depannya akan memberikan fokus yang seimbang antara faktor inflasi dan sektor tenaga kerja.
Meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tecermin di pasar US Treasury (“UST”), dimana imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022. Perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada USD yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya.
Kawasan Asia menjadi yang akan diuntungkan oleh siklus pelonggaran moneter global. Secara historis, Asia diuntungkan saat USD melemah (Pada 24 tahun terakhir, pasar saham Asia 12 kali lebih unggul dibandingkan pasar saham global, dan dari 12 kali keunggulan tersebut 9 kali terjadi pada iklim pelemahan USD). Perekonomian Asia juga relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Hal tersebut berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi.
Pasar domestik - Dr. Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist
Perubahan ekspektasi The Fed di bulan Juli membuat tekanan terhadap Rupiah mulai reda, dan investor asing mulai mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi (setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih). Tekanan Rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI yang menurun.
Stabilitas Rupiah yang berkesinambungan akan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia. Ke depan, faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah di antaranya adalah perubahan ekspektasi FFR, pemilu AS, outlook postur RAPBN-2025, stabilitas inflasi domestik, dan kebijakan pemerintah baru. MAMI sendiri memperkirakan, Rupiah hingga akhir tahun masih berada di kisaran Rp15.400 – 16.000 per dolar AS.
Meredanya tekanan pada Rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik menjadi faktor pendukung bagi kebijakan Bank Indonesia (“BI”). Inflasi domestik turun ke batas bawah target dan konsumsi domestik yang cenderung lemah dapat menjadi pertimbangan utama BI untuk memangkas suku bunga. Namun di sisi lain, besaran pemangkasan suku bunga oleh BI diperkirakan lebih konservatif dibandingkan pemangkasan suku bunga The Fed. “Hal ini dilakukan untuk memperlebar selisih suku bunga dengan AS demi menjaga stabilitas Rupiah. Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI Rate akan turun 100 basis poin (“bps”) dan suku bunga The Fed turun sebesar 150 bps.
Pemerintah telah menaikkan anggaran belanja negara 2024 menjadi Rp3.412 triliun (naik Rp87 triliun dari anggaran awal), terutama dialokasikan untuk belanja modal, material, dan subsidi. Akselerasi realisasi belanja negara diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dan menopang likuiditas. Di paruh pertama 2024, realisasi anggaran baru mencapai 41% (Rp1.398 triliun) dari target.
Meski sinyal positif dari global dan domestik telah mulai terlihat, Katarina melihat investor tetap perlu memperhitungkan sejumlah faktor risiko. Beberapa di antaranya adalah risiko dampak dari eskalasi mendadak kondisi geopolitik dunia, khususnya di Timur Tengah yang masih berpotensi meningkat ketegangannya. Risiko resesi di AS juga perlu dipertimbangkan, karena dampak dari pelemahan ekonomi AS yang sangat signifikan. Faktor risiko dari dalam negeri adalah kebijakan fiskal domestik dari pemerintahan baru, termasuk komunikasi dan implementasinya.
Pasar Obligasi - Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income
Perubahan ekspektasi suku bunga dan stabilitas Rupiah berpotensi membawa iklim yang lebih baik bagi pasar obligasi. Hal ini ini berpotensi pada kembalinya arus dana asing. Selain itu, berkurangnya target penerbitan SBN di semester kedua tahun 2024 bisa menjadi potensi katalis obligasi lainnya. Imbal hasil saat ini masih cukup menarik, di mana selisih imbal hasil SBN 10Y - UST 10Y berada di 288 bps (lebih tinggi dari rata-rata satu tahun sebesar 245 bps). Kami memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun ada di kisaran 6,00% – 6,25% hingga akhir tahun ini.
Reksa dana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi. Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk “mengunci imbal hasil” di level yang menarik dan juga dapat menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai beranjak turun.
Pasar saham - Samuel Kesuma, CFA, Chief Investment Officer, Equity
Minat terhadap pasar saham domestik sejauh ini terpukul oleh era suku bunga tinggi yang membuat risk-free asset menjadi sangat menarik. Seiring siklus penurunan suku bunga, kondisi akan berubah dan membuat pasar saham kembali atraktif dilihat dari sudut pandang risk-return yang ditawarkan. Hal ini didukung oleh harapan kebijakan pro pertumbuhan pemerintahan baru Minat investor terlihat meningkat, terutama dari investor asing yang sudah lebih dulu berinvestasi ke pasar dan membuat posisi arus dana asing kembali positif.
Saat ini, ada beberapa sektor yang bisa menjadi pertimbangan. Sektor finansial menjadi yang berpotensi diuntungkan oleh arus dana asing (di mana saham-saham big cap biasanya menjadi pilihan pertama), dan di lain pihak likuiditas perbankan juga mulai terlihat stabil. Sektor selanjutnya adalah telekomunikasi, baik itu perusahaan penyedia jasa (operator) maupun menara (tower). Dari sisi valuasi dipandang masih tetap menarik. Dan terakhir adalah sektor consumer staples atau yang lebih dikenal dengan FMCG (fast-moving consumer goods), yaitu sektor-sektor yang memproduksi barang-barang kebutuhan harian. Adapun untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), MAMI memperkirakan akan mencapai level 7.800 di akhir tahun 2024.
Para pensiunan diprediksi masih butuh sokongan keluarga
Uang pensiun harus dikelola dengan baik agar mampu memenuhi kebutuhan hidup selama kita pensiun
Idaman para pensiunan di Indonesia
Uang pensiun harus dikelola dengan baik agar mampu memenuhi kebutuhan hidup selama kita pensiun
Pensiun: Perencanaan income saat tak lagi produktif
Uang pensiun harus dikelola dengan baik agar mampu memenuhi kebutuhan hidup selama kita pensiun